Home » » SANG PELANGI SENJA Cerpen Adopsi Film 7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita Karya: Alfi Laily Nuril Mufida

SANG PELANGI SENJA Cerpen Adopsi Film 7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita Karya: Alfi Laily Nuril Mufida



SANG PELANGI SENJA
Cerpen Adopsi Film 7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita
Karya: Alfi Laily Nuril Mufida

            Bak pelangi dikala senja, menjadi dambaan bagi setiap insan pemujanya. Datang diantara hujan dan datangnya gulita malam. Siapa tak terpikat oleh keindahannya itu, bahkan semut yang hendak mencari makananpun ikut bersorak sorai melihatnya. Itulah perumpamaan bagi wanita ini, wanita pejuang emansipasi di era globalisasi dan modernisasi. Namanya Kartini, ia adalah dokter kandungan di salah satu rumah sakit swasta di Yogyakarta. Kartini adalah sosok yang sangat peduli pada kaumnya, mengapa? Karena di era semacam ini masih banyak kaum yang menilai bahwa perempuan hanyalah tempat untuk melampiaskan nafsu birahi saja, tak hanya itu banyak hal yang membuat dokter kartini sangat peduli akan kaum perempuan. Di era globalisasi dan modernisasi sekarang ini masih banyak orang yang salah mengartikan atau salah menafsirkan arti dari globalisasi dan modernisasi itu sendiri, terutama kaum muda-mudi. Tak menuntut apapun, jua tak menyalahkan siapapun memang dunia sudah di ambang perbatasan, dimana seks bebas meraja lela, perzinaan dimana-mana. Itulah salah satu yang membuat dokter Kartini sangat prihatin akan hal itu.
***
            Pagi ini dokter Kartini siap menuju ke tempat kerja, seragam rapi berjas putih ala profesi yang digelutinya, rambut yang di gelung layaknya wanita zaman dahulu. Memang dokter Kartini tak begitu suka mengikuti trend atau mode zaman sekarang. Ia lebih suka meniru gaya ibunya. Usia dokter Kartini sudah tak begitu muda lagi, namun semangatnya msih menyala-nyala mengalahkan anak muda. Ia sudah mengabdi di rumah sakit ini selama 15 tahun, ia telah menemui banyak sekali fenomena-fenomena perubahan zaman disini. Pagi itu ia siap untuk memulai bekerja ditemani suster Ika “Dokter Kartini, pasien pertama kita ibu Lili” Ujar suster Ika sambil meletakkan setumpuk kertas di meja dokter Kartini. Menghela nafas, “baik silahkan sus, kata dokter Kartini sambil mempersiapkan alat untuk memeriksa kandungan. Tak lama setelah suster Ika memanggil nama pasien, pintu ruangan lamat-lamat terbuka, terlihat sosok ibu-ibu yang sedang hamil muda, kurang lebih lima bulanan. Datang sendirian tanpa di temani suaminya dengan muka yang penuh dengan luka, yaaa.. tampaknya itu adalah luka bekas tamparan. “silahkan masuk, pandang dokter Kartini sambil terheran-heran melihat psien pertamanya pagi ini. Dalam hati ia bergumam, ya Tuhan.. apa lagi ini, inikah yang harus kaumku dapatkan setelah ia melaksanakan tugasnya sebagai seorang isteri. Beranjaklah dokter Kartini dari zona nyaman, duduk di kursi dokter. Sambil bergegas menyiapkan alat periksa
 “Apa yang terjadi, bu?”
“Tak ada apa-apa dok, ini hanya sekedar luka biasa, mungkin ia tak sengaja.”
Terperangak muka dokter Kartini sambil berkata “Siapa?? Suami ibu ?”
Lalu, dokter Kartini memeriksa keadaan janin pasiennya itu, ia mengatakan bahwa harus selalu berhati-hati menjaga janinnya sebab kandungannya sangat lemah. Mungkin ini akibat siksaan yang ia terima dari suaminya. Entah apa sebabnya, seharusnya kaum adam harus lebih bisa menghargai kaum wanitanya. Apalagi isterinya yang ia pilih sendiri untuk dijadikan pendamping hidupnya, kemana emansipasi yang di gembar gemborkan selama ini mengapa masih ada saja orang yang tega menyayat kelembutan hati seorang wanita. Apakah cinta telah membutakan segalanya, sampai hak asai pun tak di hiraukannya sungguh memilukan.
            Tak lama pasien berikutnya datang, dengan pakaian minim dan seksi ia datang bersama seorang laki-laki. Dari tampangnya mungkin ia adalah seorang PSK, dan ternyata benar ia adalah seorang PSK ia datang untuk memeriksakan keadaan kandungannya, dan setelah di periksa ternyata ia menderita kanker rahim. Bagaimana tidak, semalam wanita itu ditiduri oleh beberapa pria hidung belang bisa smpai 3-5 pria. Suatu fenomena yang tak lagi asing di mata kita, hirup pikuk kota metropolitan seperti Yogyakarta ini tak hanya di hiasi oleh sisi putih saja, namun sisi hitam ada di sudut kota membuat kota dengan modernisasi ala barat ini merajalela di tengah khasanah budaya bangsa. Anak bangsa yang mana lagi yang tak mengenal dunia barat dengan kebiasaannya yang jauh dari kata pantas, secuil harapan yang di bebankan pada anak bangsa sebagai tonggak estafet bangsa, tapi akan di bawa kemana bangsa ini akan di bawa kemana negara ini jika tunas-tunasnya saja sudah tak layak tanam, tatkala generasi menjadi apatis dan menjadi hedonis, sungguh.. pasti pahlawan kita menangis mengintip dari dinding surga sana.  
            Tak terasa petang datang menyapa dengan segala keluh kesah manusia, bergegas menuju peraduan singgah sana masing-masing, bak semut meryap padati jalanan kota petang itu, beberapa orang masih sibuk meneteeskan peluhnya demi reccehan rupiah. Ada juga yang sudah duduk santai dalam mobil bersam sejuta lelah di badan bak gunung yang ingin meletus meledakkan isinya. Sementara dokter Kartini bersiap-siap untuk pulang. Berjalan pelan menuju parkir mobil sambil sedikit memikirkan pasien-pasiennya seharian ini, terdengar suara dari belakang memanggilnya
“dokter Kartini..”
“Oh, iya suster Ika?”
“bagaimana seharian ini, saya harap dokter senang. Kalau begitu saya duluan ya dok.”
“iya, pastinya senang dong sus, oh iya hati-hati dijalan ya”
Perlahan bayangan suster Ika menghilang, meninggalkan dokter Kartini yang masih berjalan jauh di belakangnya. Bagaimana bisa senang, jika sebagian dari kaumku masih saja dapat perlakuan yang sangat memprihatinkan, gumam dokter Kartini dalam hati. Bergegas ia masuk mobil dan bergegas menancapkan gasnya. Di tengah perjalanan suasana kota sangat padat merayap, apalagi saat jam pulang kantor seperti ini, di tengah lampu merah ia melihat sosok anak kecil sedang mengamen di antara lampu merah sambil mengetok ngetok kaca mobil para pengguna jalan, di sisi lain ada juga anak yang berlarian membawa kemoceng sambil mengelap kaca mobil, berharap ada yang bersimpati atau hanya sekedar mencari uang jajan. Ataukah mereka adalah sebagian kecil dari korban eksploitasi anak. Bagaimana bisa kita berdiam diri melihat fenomena yang mencekik leher seperti ini. Rasa lelah seharian dan penat tak terasa sesampainya dirumah, sejenak ia berbarig di tempat tidur yang sampai kini masih setia menemaninya tanpa berpaling berkhianat atau lainnya.
***
Mentari menyapa dengan riang pagi itu, dan dokter Kartini bersiap menyapa lagi para pasien yang telah menunggu di ruang tunggu,  “dokter kartini, ini data pasien kita hari ini dan pasien kita pertama hari ini nyonya Anggi ya dok.”, sambil meletakkan tumpukan berkas di meja dokter kartini. “baiklah suruh masuk” ungkap dokter kartini sembari mempersiapkan alat periksa.
Tak lama setelah memeriksa pasien pertama, tiba-tiba dokter Kartini memperoleh pemberitahuan jika ada emergency dan ternyata itu adalah pasiennya bernama Lili wanita yang tak pernah mendapat keadilan dalam rumah tangganya, sejenak dokter Kartini termenung melihatnya dan bergumam dalam hatinya, “Ya Tuhan, apa lagi ini?” lantas membereskan pakaiannya dan ganti mengenakan pakaian operasi, tak berapa lama dokter kartini masuk ia keluar lagi dengan membawa kereta dorong pasien, dan ternyata pasien yang bernama Lili itu tak dapat diselamatkan lagi. Ia meninggal saat mengandung buah hatinya. Sungguh kekejian mana lagi yang dapat mentolerir ini semua. Tampak sosok lelaki penuh penyesalan menangis di depan pintu ruang operasi, wajah penuh penyesalan sangat tampak di raut muka lelaki itu, ia di temani laki-laki yaaa.. kira-kira serumur belasan tahun. Tak lama poloso datang menangkap lelaki itu, ya.. dokter Kartini telah mendapatkan banyak bukti untuk ini semua.
***
            Tak bisa hanya diam melihat penyiksaan seperti itu, emansipasi wanita yang sering kita dengar seolah itu hanya menjadi kata tanpa arti. Dengan kejadian kemarin ia berharap semoga tidak ada Lili yang lain. Tapi kenyataan nya di negara yang sangat luas ini tak dapat di pungkiri masih banyak hal yang patut kita perhatikan betul-betul.
            Setelah beberapa bulan kejadian itu, akhirnya dokter kartini menikah dengan seorang pria, mantan kekasihnya tempo dulu. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu berpacu dalam ambisinya tanpa memikirkan asamaranya. Dan, ia sadar di dunia ini tak hanya di isi oleh kali-laki yang tak bermoral, masih banyak lelaki yang memiliki tanggung jawab dan rasa cinta. Dan mengenai pasien, akhirnya tak ada lagi dijumpai kasus penyiksaan atau penindasan lagi di rumah sakit itu.
SELESAI

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Random Post

Comment

Pengikut

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Rayon Mahbub Djunaidi Unisda Lamongan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger